Ayah Bunda, pernahkah ketika anda bercerita ke seseorang respon yang anda dapatkan hanya kata-kata “udah sabar aja” atau “coba deh lebih banyak bersyukur” Terdengar positif sekali bukan respon tersebut? Namun hati hati, bisa jadi kita terjebak dengan toxic positivity. Sederhananya toxic positivity dapat dijelaskan sebagai setiap kalimat atau dorongan yang dianggap “positif” namun ternyata kata-kata tersebut dapat menjadi racun / toxic bagi orang lain. Kok bisa yaa?
Contoh sederhananya, ketika seseorang bercerita tentang situasi buruk yang dialaminya yaitu dibully oleh teman disekolah dan respon orang lain disekitarnya adalah “udah sabar aja”. Hal ini dapat membuat orang tersebut menekan emosi negative yang dirasakannya. Alih-alih berpikir positif dan berusaha untuk mencari cara agar tidak lagi mendapat perlakuan yang demikian, yang ada hal tersebut dapat menjadi bom waktu yang kapan pun bisa saja meledak. Orang yang mengalami situasi tersebut bisa jadi membiarkan saja luka yang dialaminya dan enggan untuk meminta pertolongan orang lain karena merasa tidak ada yang dapat memahami kondisi yang dialaminya. Lalu bagaimana jika kita ingin mengajarkan anak berpikir positif?
Hal yang perlu kita perhatikan adalah setiap individu memiliki emosi di kedua sisi baik itu negatif atau positif. Kita perlu memahami bahwa untuk menumbuhkan pola piker positif, kita tidak perlu untuk menghilangkan emosi negatif yang anak miliki namun mengajarkan mereka untuk dapat mengenali dan meregulasi emosi yang dirasakan melalui cara yang tepat. Ketika anak bercerita hal-hal negatif yang di alaminya, kita perlu meng-amin kan perasaan negatif yang di alaminya terlebih dahulu. Pahami kondisi yang dialami anak dengan mengatakan “adek sedih ya karna teman-teman gangguin adek” atau “adek marah ya kalau teman-teman ngeledekin adek, Ayah/Bunda bisa merasakannya kok”. Jika kita langsung memberikan respon dengan kalimat “positif”, seakan-akan mengesampingkan emosi negatif yang sedang di rasakan oleh anak dan menganggap emosi tersebut tidak boleh ada atau tidak penting, akan memungkinan anak merasa jika orangtua tidak bisa memahami nya. Sehingga kemungkinan untuk munculnya perilaku memendam atau membiarkan masalah akan muncul dan membuat anak terus berkutat dalam lingkaran masalah yang tidak berujung. Hal ini dapat berdampak jauh terhadap kondisi stabilitas anak yang apabila tidak diregulasi dengan tepat dikhawatirkan dapat mempengaruhi performanya di aktivitas sehari-hari.
Selanjutnya, bila terlihat kondisi emosi anak sudah mulai stabil, ajaklah anak untuk berdiskusi dan ajari anak untuk mencerna nilai-nilai positif yang bisa di ambil dari kejadian yang dialaminya. Perlu di ingat, ketika Ayah Bunda ingin anak berperilaku positif maka kita perlu melibatkan anak untuk berpikir dan berdiskusi bersama, agar perilaku positif yang tercipta bisa bertahan lama karena anak akan memahami sebab akibatnya. Jadi bukan hanya sekedar doktrin yang diberikan apalagi berupa paksaan, namun berupa insight yang diharapkan dapat tumbuh dari hasil pemikiran anak sendiri.
Semoga artikel ini bermanfaat. Happy parenting!
Penulis: Rahma Aulia, S.Psi